Reza Indragiri: Logika Hakim Kurangi Hukuman Edhy Prabowo dengan Alasan Kinerja Baik Sulit Dipahami
Pengurangan hukuman terhadap eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menuai sorotan. Diketahui pada tingkat kasasi, hukuman Edhy Prabowo dikorting menjadi 5 tahun penjara. Padahal pada tingkat banding, terdakwa perkara suap terkait izin budidaya lobster dan izin ekspor benih bening lobster (BBL) di Kementerian Kelautan dan Perikanan itu divonis 9 tahun penjara.
Tak hanya megurangi pidana kurungan, MA turut mengurangi pencabutan hak politik mantan politikus Partai Gerindra itu dari 3 tahun menjadi 2 tahun. Dalam pertimbangannya, hakim beralasan pengurangan hukuman Edhy Prabowo dilakukan karena hakim di tingkat banding tidak mempertimbangkan keadaan yang meringankan Edhy Prabowo. Menurut hakim, Edhy Prabowo dianggap telah bekerja dengan baik sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Edhy dinilai memberikan harapan bagi nelayan untuk memanfaatkan benih lobster sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat, khususnya nelayan. "Terdakwa sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan sudah bekerja dengan baik dan memberikan harapan kepada nelayan," tulis putusan tersebut. Putusan kasasi tersebut dibacakan, Senin (7/3/2022).
Menyikapi hal tersebut, Reza Indragiri Amriel, Ahli Psikologi Forensik yang pernah menjadi konsultan UNODC di bidang pengembangan kompetensi hakim, mengatakan alasan hakim tersebut sulit dipahami. Menurutnya korupsi menurunkan kepuasan kerja. Ketika kepuasan kerja turun, maka kinerja pun akan anjlok. Begitu pula, korupsi akan membawa organisasi ke situasi tidak efektif dan kurang produktif.
Konsekuensinya sama, performa kinerja akan memburuk, baik performa individu maupun performa organisasi. "Dari situ sulit dipahami, bagaimana logikanya bahwa seorang pejabat divonis bersalah karena melakukan korupsi namun pada saat yang sama disebut berkinerja baik?" kata Reza Indra Giri Amriel dalam keterangan yang diterima, Rabu (9/3/2022). Lanjut dia, korupsi ketika dilakukan pejabat negara, sepatutnya diposisikan sebagai kejahatan yang menghapus segala catatan kebaikannya. Integritas selayaknya dijadikan sebagai elemen mutlak dalam penilaian kinerja.
Selama elemen itu belum terpenuhi, maka elemen elemen lainnya tak lagi menentukan. "Tidak tepat untuk mengaitkan kinerja baik organisasi dengan individu yang korupsi," ujarnya. Perilaku koruptif, menurutnya, justru menandakan bahwa individu bersangkutan memiliki komitmen rendah pada organisasi tempatnya bekerja.
"Dengan komitmennya yang rendah, bagaimana mungkin ia sepenuhnya berpikir dan bekerja untuk membawa kebaikan bagi lembaganya?" ujarnya. Kata dia, bisa dipahami bahwa kinerja baik kementerian sesungguhnya adalah hasil dari kerja para personel birokrasi kementerian itu sendiri, bukan akibat atau kontribusi dari pejabat yang melakukan korupsi. "Apa boleh buat, putusan hakim MA mengingatkan saya pada simpulan getir dari riset University of Sheffield. Bahwa, korupsi ternyata sudah menjadi cara jitu untuk menyiasati aturan main yang rumit."
"Korupsi membuat urusan menjadi lebih gampang diselesaikan, sehingga kinerja pun membaik. Jadi, memang ironis, alih alih merusak organisasi, korupsi justru meningkatkan kinerja," kata dia. (*)